BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia dalam
paham islam, sebagai halnya dalam agama monoteisme lainya, tersusun dari dua
unsur, unsur jasmani dan unsur rohani. Tubuh manusia berasal dari materi dan
memiliki kebutuhan-kebutuhan materiil, sedangkan roh manusai bersifat immateri
dan mempunyai kebutuhan spiritual. Badan, karena mempunyai hawa nafsu, bisa
membawa pada kejahatan, sedangkan roh, karena berasal dari unsur yang suci,
mengajak pada kesucian. Kalau seseorang hidup hanya mementingkan kematerian ia
mudah sekali dibawa hasut oleh kehidupan yang tidak bersih, bahkan dapat dibawa
hanyut kejahatan.
Oleh karena itu
pendidikan jasmani manusia harus harus disempurnakan dengan pendidikan rohani.
Pengembangan daya-daya jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan pengembangan
daya rohani akan membuat kehidupannya berat sebelah dan akan kehilangan
keseimbangan. Orang yang demikian kan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam
hidup duniawi, apalagi hal itu membawa kepada perbuatan-perbuatan tidak baik
dan kejahatan. Ia akan merupakan manusia yang merugikan, bahkan manusia yang
membawa kerusakkan bagi masyarakat. Selanjutnya beliau akan kehilangan hidup
bahagia di akhirat dan akan menghadapi hidup kesengsaraan di sana. Oleh karena
itu sangatlah penting supaya roh yang berada dalam diri manusia mendapat
latihan, sebagaimana badan manusia juga mendapat latihan. Sebagaimana badan
manusia juga mendapat latihan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Pengantar Studi Islam dan serta
untuk menambah pengetahuan bagi pemakalah mengenai pembahasan Aspek Ibadat,
Latihan Spiritual dan Ajaran Moral
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran
Moral
Dalam
Islam ibadatlah yang memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia itu.
Semua ibadat yang ada dalam islam, salat, puasa, haji, dan zakat, bertujuan
membuat roh manusia supaya senantiasa tidak lupa pada Tuhan, bahkan senantiasa
dekat pada-Nya. Keadaan senantiasa dekat pada Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci
dapat mempertajam kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat
menjadi rem bagi hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan
hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.
Di
antara ibadat islam, salatlah yang membawa manusia terdekat kepada Tuhan. Di
dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan Tuhan dan dialog berlaku antara
dua pihak yang saling berhadapan. Dalam salat manusia memang berhadapan dengan
Tuhan. Dalam salat seseorang melakukan hal-hal berikut: menuju ke-Maha Sucian
Tuhan, menyerahkan diri kepada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan
syaitan, memohon diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan dijauhi dari
kesesatan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, perbuatan-perbuatan jahat
dan sebaginya. Pendek kata dalam dialog dengan Tuhan itu seseorang meminta
supaya rohnya disucikan. Dioalog ini wajib diadakan lima hari sehari, dan bila
seseorang dalam lima kali sehari dengan sadar menyucikan roh, dan ia memang
berusaha kearah yang demikian, rohkan akan dapat menjadi bersih dan ia akan
dijauhi dari perbuatan-perbuatan tidak baik, apalagi dari perbuatan-perbuatan
jahat.
Puasa
juga menyucikan roh. Di dalam berpuasa seseorang harus menahan hawa nafsu
makan, minum dan nafsu lainnya. Di samping itu ia juga harus menahan rasa
amanah, keinginan mengatai orang lain, bertengkar dan perbuatan-perbuatan
kurang baik lainnya. Latihan jasmani dan rohani di sini bersatu dalam usaha
menyucikan roh manusia. Di bulan puasa dianjurkan pula supaya orang banyak
bersalat dan membaca Al-Qur’an, yaitu hal-hal yang membawa manusia dekat kepada
Tuhan. Latiahn ini disempurnakan dengan pernyataan rasa kasih kepada anggota
masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah
bagi mereka.
Ibadah
haji juga merupakan penyucian roh. Dalam mengerjakan haji ke Mekkah, orang
berkunjung ke baitullah (Rumah Tuhan dalam arti rumah peribadatan yang pertama
didirikan atas perintah Tuahan di dunia ini). Sebagai dalam salat, orang di
sini juga merasa dekat sekali dengan tuhan. Bacaan-bacaan yang diucapkan
sewaktu mengerjakan haji itu juga merupakan dialog antara manusia dengan Tuhan.
Usaha menyucikan roh di sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk
pakaian, makanan dan tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji
perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan
rasa bersaudara antara semua manusia, tiada beda antara kayak dan miskin, raja
dan rakyat biasa, antara besar dan kecil, semua sederajat.
Zakat,
sungguhpun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagaian dari harta untuk
menolong fakir-miskin dan sebagainya juga merupakan penyuci roh. Di sini
dilatih menjauhi kerusakan pada harta dan menumpuk rasa bersaudara, rasa
kasihan dan suka menolong anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan.
Ibadat
dalam islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah dalam arti
penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif. Pengertian serupa ini
adalah pengertian yang tidak tepat. Betul ayat 56 dari surah Al-Zariat mengatakan:

“ tidak kuciptakan jin dan manusia
kecuali untuk tunduk dan patuh kepda-Ku”
Artinya
ini lebih sesuai dengan arti yang terkandung dalam kata muslim dan muttaqi,
yaitu menyerah, tunduk dan menjaga diri dari hukuman Tuhan di Hari Kiamat
dengan mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan. Dengan lain
kata, manusia diciptakan Tuhan sebenarnya ialah untuk berbuat baik dan tidak
untuk berbuat jahat, sesungguhpun di dunia ada manusia yang memilih kejahatan.
Selanjutnya
arti sembah dan sembah yang diberikan kepada “‘abada“ dan “sholaa“
juga membawa pada kepada paham yang tidak falsafah lain dan falsafah islam.
Sembahyang mengandung arti menyebah kekuatan ghaib dalam paham masyarakat
animisme dan politeisme. Dalam falsafah masyarakat serupa ini kekuatan ghaib
yang demikian ditakuti dan mesti disembah dan diberi sesajen agar ia jangan
murka dan jangan membawa bencana bagi alam.
Kata
sembahyang yang mengandung arti demikian, maka ketika dibawa ke dalam konteks
Islam, sebagaimana terjemanahan “‘abada“
dan “sholaa“, menimbulkan perubahan
dalam konsep Tuhan yang ada dalam Islam. Dalam Islam Tuhan bukanlah merupakan
suatu dzat yang ditakuti tetapi zat yang dikasihi. Ini ternyata dari ucapan: “bismillahirrohmanirrohim“
yang tiap hari berkali-kali dibaca umat Islam. Rahman dan Rahim berarti
pengasih lagi Penyayang, jadi bukan perbuatan baik. Selanjutnya ia membawa
paham al-salah wal al-aslah, yaitu
Tuahan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk maslahat manusia.
Apa
yang dimaksud Wasil dengan meniadakan sifat-sifat tuhan (nafy al-sifat) dijelaskan lebih lanjut oleh Abu Al-Huzail.
Pemberian sifat kepada tuhan akan membawa pada paham Syirk atau politeisme, karena dengan demikian yang bersifat qodim (tidak bermula) akan banyak.
Untuk
memelikara murninya Tawhid atau
Kemahaesaan Tuahan, tidak boleh mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat. Tuhan
tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah
sifat malahan esensi Tuhan. Sebagai kata Abu Al-Huzail Tuhan berkuasa berkuasa
melalui kekuasaan dan kekuasaan itu adalah esensinya “ “
Pemimpin
mu’tazillah lain, Al-Nazzam (185-221H), menonjolkan paham keadilan Tuhan dengan
mengatakan Tuhan tidak berkuasa untuk berlaku dzalim. Perbuatan dzalim timbul
hanya dari yang memiliki cacat, dan Tuhan tidak memiliki cacat. Dari Tuhan
timbul perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya Al-Nazzam mengatakan bahwa kalam Allah bahwa sabda Tuhan tidak qodim tetapi diciptakan. Ini membawa
paham pada terciptanya Al-Qur’an (Khalq
Al-Qur’an) yang kuat dipertahankan oleh kaum Mu’tazilah.
Kaum
Mu’tazilah dikenal mempunyai lima ajaran dasar: at-tawhid, al-‘adl; al-wa’d wa al-wa’id, al-munzila bain al-manzilatain
dan al-amr bi al-ma’ruf serta al-nahy’an al-munkar.
Ajaran dasar pertama bertujuan membela
kemurnian paham kemahaesaan Tuhan, sehingga mereka mengatakan Tuhan tidak
memiliki sifat, dan hanya mempunyai esensi. Tuhan bersifat Maha Adil, dan untuk
mempertahankan paham itu, mereka menganut pahan qadariah.jika dikatakan perbuatan manusia telah ditentukan sejak
azal, seperti yang terdapat dalam paham jabariah,
maka Tuhan akan bersifat tidak adil kalau orang yang berbuat jahat atas
ketentuan azali itu, dimasukan tuhan ke neraka. Paham keadilan baru dapat
dipertahankan kalau manusia di hukum atas kebebasannya untuk berbuat baik atau
berbuat jahat.
Yang
dimaksud dengan al-wa’d wa al-wa’id ialah
bahwa Tuhan akan melaksanakan janji baik dan ancamannya. Kalau itu tidak
dilaksanakan, Tuhan akan bersifat tidak
adil.
Apa
yang dimaksud dengan al-munzila bain al-manzilatain telah
diterangkan di atas, dan ini hubungannya juga erat dengan pahan keadilan Tuhan.
al-amr bi al-ma’ruf al-nahy’an al-munkar
mengandung arti kewajiban menyeluruh berbuat baik dan melarang jahat.
Kaum
Mu’tazilah juga sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantanganan keras dari
kaum Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk memaksakan
paham-paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu
itu.
Pemikiran
rasional Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, mambawa pada lahirnya
aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi
tantangan bagi aliran yang bercorak rasional dan liberal tersebut.
Tantangan
pertama datang di Bagdad dari Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M.). Al-Asy’ari
pada mulanya adalah pemuka Mu’tazilah, tetapi kemudian mengubah
pendapat-pendapat teologinya
Bertakwa
artinya menjauhi perbuatan-perbutan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan
baik. Hadis-hadis Nabi juga mengaitkan puasa dengan berbuatan-perbuatan tidak
baik. Salah satu hadisnya mengatakan “ Orang yang tidak meninggalkan kata-kata
bohong dan senantiasa berdusta tidak ada faedahnya ia menahan diri dari makan
dan minum.” Jadi puasa yang tidak menjauhkan manusia dari ucapan dan perbuatan
tidak baik tidak ada gunanya. Orang yang demikian tidak perlu menahan diri dari
makan dna minum, karena puasanya tidak
berguna.
Hadis
lain mengatakan: “ puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi
puasa ilah menahan diri dari kata sia-sia dan kata-kata tak sopan; jika kamu
dicaci atau tidak dihargai katakanlah “aku berpuasa.” Dengan demikian maka
puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari
ucapan-ucapan tidak baik lagi kotor.
Mengenai
haji, Al-Baqarah:197
“
Haji bulan-bulannya dikenal dan siapa telah memutuskan melakukan haji, maka
pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata tak sopan, caci-cacian dan
pertengkaran”
Menerangkan
bahwa sewaktu mengerjakan haji orang tidak boleh mengeluarkan ucapan-ucapan
tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal tidak baik dantidak boleh bertengkar
Tentang
Zakat, Al-Taubah: 103
“Ambillah
zakat dari harta mereka, dengan demikian engkau akan membersihkan dan
mensucikan mereka”
Menjelaskan
bahwa zakat diambil dari harta untuk membersihkan dan mensucikan pemiliknya.
Disebut
jahat, akal manusia dapat puak mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan dan
kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajibannya untuk menjauhi perbuatan
jahat. Wahyu dalam keempatnya hal ini datang untuk memperkuat pendapat akal dan
untuk memberi perincian tentang apa yang telah diketahuinya itu.
Kaum
Asy’ariah, sabaliknya berpendapat bahwa akal tidak begitu besar kekuatannya.
Diantara keempat permasalahn di atas dapat sampai kepada adanya Tuhan. Soal
kewajiabn manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban
berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan, itu tidak dapat diketahui akal
manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan Tuhan
melalui para Nabi dan Rasul.
Kalau
kaum Mu’tazilah banyak percaya kepada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah
banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai Mu’tazilah ialah mempergunakan
akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan
pendapat akal. Kaum Asy’ariah, sebaliknya, pergi terlebih dahulu dari teks
wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau
kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau
interpretasi dalam memahani teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada
arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan lain kata kalau kaum
Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang
tersurat.
Selain
dari itu, paham al-kasb yang dibawa asy-ariah kurnag dekat kepada jabariah atau
fatalisme daripada paham qadariah atau kebebasan manusia. Dan karena kuat
mempertahankan paham kekuasaan mutlak Tuhan paham hukum alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat
tempat dalam aliran Asy’ariah.
Hal-hal
inilah yang membuat aliran Asy’ariah lurangsesuai dengan jiwa kaum terpelajar
islam yang banyak mendapat pendidikan barat. Dalam suasana serupa inilah orang
mulai kembali pada paham-paham rasional yang dibawa kaum Mu’taziah. Teologi tau
falsafal hidup Asy’ariah yang memiliki corak tradisional itu kurang sesuai
dengan pandangan hidup mereka. Yang dapat mereka lebih terima ialah teologi
atau falsafah hidup Mu’tajiah yang lebih banyak menggunakan corak liberal.
Pemikiran-pemikiran
Mu’taziah mulai ditimbulkan kembali oleh pemuka-pemuka pembaharu dalam Islam
periode abad kesembilan belas Masehi, terutama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh dan Ahmad Khan di India. Di abad duapuluh ini, penonjolan
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah diteruskan oleh pengikut-pengikut Muhammad Abduh
di Mesir dan pengikut-pengikut Ahmad Khan di India dan Pakistan.
Pandangan
orang terhadapt Mu’tazilah telah pula mulai berubah. Kalau sebelumnya kaum
Mu’tazilah dianggap kafir dan buku-buku serta ajaran-ajaran mereka terlarang,
sekarang telah ada pengarang-pengarang, bahkan ulama yang menyokong atau
membela mereka. Diantaranya Ahmad Amin dalam bukku Fajr Al Islam dan Duha Al
Islam, Dr. Ali Sami Al-Nasysyar
dalam Nasy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi
Al-Islam
Dari
uraian di atas dapatlah dilihat bahwa sebagai halnya dalam lapangan hukum
Islam, dalam teologi Islam terdapat pula beberapa mazhab atau aliran.
Aliran-aliran yang ada dan yang mulai timbul kembali ialah Asy’ariah,
Maturidiah dan Mu’tazilah. Ketiga aliran ini, sama halnya dengan mazhab-mazhab
hukum Islam, tidak keluar dari ajaran-ajaran Islam. Semuanya masih dalam
lingkungan Islam dan oleh karena itu tiap orang Islam memiliki kebebasan untuk
memilih aliaran teologi atau falsafah hidup yang sesuai dengan jiwanya.
Demikianlah
pentingnya budi-pekerti luhur dan tingkah laku sehari-hari dalam Islam,
sehingga hal-hal itu disebut Tuhan dalam Al-Qur’an. Dan Nabi Muhammad sendir
mengatakan bahwa beliau diutus kedunia untuk menyempurnakan ajaran-ajaran
tentang budi-pekerti luhur. Beliau juga menerangkan: Tuhan telah menentukan
Islam sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan buti-pekerti baik dan
hati pemurah.
Berkata
benar dan tidak berdusta adalah norma moral yang penting. Nabi Mengatakan:
“kalau bener menimbulakan ketentraman tetapi dusta menimbulkan kecemasan”.
Menurut ‘Aisyah, sifat yang dibenci nabi adalah dusta. Seorang mukmin, kata
nabi, boleh bersifat penakut dan bathil, tetapi sekali-sekali tidak boleh
berdusta. Tiga macam orang, kata nabi, yang tidak akan masuk surga, orang tua
yang berzina, Imam yang berdusta, dan kepala yang bersifat angkuh. Mengenai
kejujuran nabi mengatakan: “ Tidak terdapat iman dalam diri orang tidak jujur
dan tidaklah beragama orang yang tak dapat berpegang janjinya”. Dan seorang
pernah bertanya kepada nabi: “ kapan hari ki
amat?”
jawab beliau “ kalau kejujuran telah hilang”. Janji harus ditepati walaupun
kepada musuh. Nabi pernah mengatakan kata-kata berikut” jika seorang berjanji
tidak akan membunuh seorang lain, tetapi kemudian orang itu ia bunuh, maka aku
suci dalam perbuatannya, sungguhpun yang ia bunuh itu adalah orang kafir”.
Orang pernah bertanya kepda nabi tentang semulia-muali manusia. Nabi menerangkan
“ orang yang hatinya bersih lagi suci dan lidahnya benar”. Juga nabi mengatakan
bahwa orang yang suka mencaci dan hatinya berisi rasa dengki akan masuk neraka.
Selanjutnya orang yang kuat kata nabi, bukanlah orang yang tak dapat dikalahkan
kekuatan fisiknya, tetapi yang kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya. Hadis
lain lagi menerangkan bahwa orang yang dapat menahan amarahnyadihari kiamat
dapat memilih bidadari yang disukainya. Lebih lanjut lagi Nabi mengatakan bahwa
derajat yang tertinggi diberi Tuhan kepada orang yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang tidak menghargainya, mamaafkan orang yang tak mau memberi
apa-apa kepadanya dan tetap bersahabat dengan orang yang memutus tali persaudaraan
dengan dia. Hadis juga mengatakan orang yang paling tidak disenangi Tuhan ialah
orang yang berdemdam kusumat.
Demikian
hadis-hadis Nabi banyak menyebutkan norma-norma akhlak mulia dan Nabi sendiri
dikenal dengan orang yang budi pekertinya luhur. Islam sebagai halnya
agama-agama lain, amat mementingkan pendidikan spiritual dan moral. Disinilah
sebenarnya terletak inti sari suatu agama. Intisari ajaran-ajaran Islam, memang
berkisar tentang baik dan buruk, yaitu perbuatan mana yang bersifat baik dan membawa
kepada kebahagiaan, dan perbuatan buruk taua jahat akan membawa pada
kemudhorotan tau kesengsaraan. Untuk kebahagiaan manusia berbuatan baik
dikerjakan dan perbuatan jahat dijauhi.
Dalam
Islam masalah baik dan buruk ini mengambil tempat yang paling penting sekali.
Bagi para teolog Islam soal itu memang merupakan salah satu masalah yang banyak
dan hangat mereka perbincangkan. Pokok masalah bagi aliran-aliran teologi yang
terdapat dalam Islam ialah: Dapatkah manusia melalui akalnya mengetahui
perbuatan mana yang buruk? Ataukah untuk mengetahui itu, manusia perlu pada
wahyu?
Golangan
Asy’ariah mengatakan bahwa soal baik dan buruk tak dapat diketahui oleh akal.
Sekiranya wahyu tidak diturunkan tuhan, manusia tidak akan dapat memperbedakan
perbuatan buruk dari perbuatan baik. Wahyulah yang menentukan buruk-baiknya
sesuatu perbuatan.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa akal manusia cukup kuat untuk mengetahui
buruk-baiknya sesuai perbuatan. Tanpa wahyu manusia dapat mengetahui bahwa
mencuri adalah perbuatan buruk dan menolong sesama manusia adalah perbuatan
baik. Untuk itu tak perlu wahyu. Wahyu datang hanya untuk memperkuat pendapat
akal manusia dan untuk membuat nilai-nilai yang dihasilkan pikiran manusia
bersifat absolut dan universal, agar dengan demikian mempunyai kekuatan
mengikat bagi seluruh umat.
Selanjutnya,
kata Mu’tazilah, setelah akal mengetahui yang baik dan apa yang buruk, akal
memerintah supay perbuatan baik itu dikerjakan dan perbuatan buruk itu dijauhi.
Jadi sebelum wahyu diturunkan Tuahan, manusiia dalam paham Mu’tazilah, telah
berkewajiban berbuat baik dan berkewajiban menjauhi perbuatan jahat. Wahyu
datang untuk memperkuat perintah akal itu dan untuk membuat kewajiban-kewajiabn
akli tersebut menjadi kewajiban syar’i yang bersifat absolut.
Bagi
golongan Asy’ariah, karena akal tidak mampu mengetahui soal baik dan soal
buruk, manusia tidak mempunyai kewajiban akli apa-apa sebelum turunnya wahyu.
Sekianlah
sekedar masalah baik dan buruk dalam teologi Islam. Di samping teologi, fikih
atau hukum islam sebenarnya juga memusatkan pembahsan pada soal baik dan buruk
itu. Pengertian wajib, haram, sunnah dan makruh hubungannya erat sekali dengan
perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik ada diantaranya yang wajib
dikerjakan dan ada pula diantarannya yang sunnah dikerjakan. Perbuatan buruk
atau jahat ada yang haram dikerjakan dan ada yang makruh dikerjakan.
Perbuatan-perbuatan tidak baik yang
haram atau makruh dikerjakan, membawa kepada kemudaratan dan kesengsaraan,
sedangkan perbuatan-perbuatan baik yang wajib atau sunnah, kalau dikerjakan,
membawa kepada kebaikkan dan kebahagiaan.
Ancaman
yang berupa neraka dan janji yang berupa surga di akhirat, juga erat
hubungannya dengan soal baik dan buruk ini. Orang yang berbuat baik di duniaini
akan masuk surga di akhirat, dan orang yang berbuat baik bukan hanya yang
merupakan ibadat, tetapi juga perbuatan baik duniawi yang setiap hari dilakukan
manusia dan hubungannya dengan manusia, bahkan juga dengan makhluk lain,
terutama binatang-binatang. Demikian pula yang dimaksud dengan perbuatan buruk
dan jahat adalah perbuatan buruk, dan jahat yang dilakukan manusia, terhadap
sesama manusia dan juga terhadap makhluk lain di dunia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jelas
bahwa dalam Islam, soal baik dan buruk, di samping soal ketuhanan menjadi dasar
agama yang penting. Ini demikian, karena yang ingin dibina Islam ialah manusia
baik yang menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau jahat di dunia ini. Manusia
serupa inilah sebenarnya yang dimaksud dengan mukmin, muslim dan muttaqi (orang
yang bertakwa). Mukmin ialah orang
yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber nilai-nilai yang
bersifat absolut, muslim orang yang
menyerahkan diri dan tunduk kepada Tuhan, Muttaqi
atau orang yang bertakwa adalah orang yang memelihara diri dari hukuman
Tuhan di akhirat, yaitu orang yang patuh pada Tuhan, dalam arti patuh
menjalankan perintah-perintah-Nya dan patuh menjauhi larangan-Nya. Perintah Tuhan
hubungannya ialah dengan perbuatan –perbuatan baik sedangkan larangan Tuhan
hubungannya ialah dengan perbuatan-perbuatan buruk dan jahat. Dengan tegasnya
yang menerjakan kebaikkan-kebaikkan dan menjauhi kejahatan-kejahatan.
Kata
muttaqin dalam Al-Quran memang
dihubungkan dengan nilai-nilai seperti suka menolong, sungguh pun si penolong
sendiri berada dalam kekurangan, dapat menahan amarah, suka memberi maaf kepada
orang lain, menepati janji, sabar, tidak tinggi hati, suka kepda kebaikan dan
benci pada kejahatan, berbuatan baik kepada orang lain jujur, suka pada
kebenaran dan sebagainya. Kata muttaqin dalam
Al-quran selanjutnta dikontraskan dengan orang yang berbuat onar dan kacau
dalam masyarakat, orang yangberbuat buruk, orang yang berdusta, orang yang
bersikap zalim, penjahat, amoral dan sebagainya.
Dengan
demikian, yang dimaksdu dengan mukmin,
muslim dan muttaqin sebenernya adalah orang yang bermoral tinggi dan
berbudi pekerti luhur. Tidak mengherankan kalau soal akhlak dan budi pekerti
luhur memang merupakan ajaran yang penting sekali dalam Islam. Dan soal itu
semikan pentingnya sehingga, bukan hanya ibadat salat, puasa, zakat serta haji
saja, tetapi juga hukum fikih dan konsep-konsep iman, Islam, surga, serta
neraka, kesemuanya sebagai dilihat di atas, erat hubungannya dnegan perbuatan
baik dan bperbuatan buruk manusia. Tujuan dasar dari semua ajaran-ajaran Islam
memanglah untuk mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan
selanjutnya untuk mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan baik. Dari
manusia-manusia baik dan berbudi pekerti luhurlah masyarakat baik dapat diwujudkan.
Nasution, Harun. 2010. Islam ditinjau dari berbagai aspek. Jakarta:
UI-Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar