photo cooltext939952766_zps2b70a46e.png

Pages - Menu

Welcome to my blog guys

Rabu, 29 Oktober 2014

Pengertian Aspek Ibadat, Latihan Spiritual, Dan Ajaran Moral


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dalam paham islam, sebagai halnya dalam agama monoteisme lainya, tersusun dari dua unsur, unsur jasmani dan unsur rohani. Tubuh manusia berasal dari materi dan memiliki kebutuhan-kebutuhan materiil, sedangkan roh manusai bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan spiritual. Badan, karena mempunyai hawa nafsu, bisa membawa pada kejahatan, sedangkan roh, karena berasal dari unsur yang suci, mengajak pada kesucian. Kalau seseorang hidup hanya mementingkan kematerian ia mudah sekali dibawa hasut oleh kehidupan yang tidak bersih, bahkan dapat dibawa hanyut kejahatan.
Oleh karena itu pendidikan jasmani manusia harus harus disempurnakan dengan pendidikan rohani. Pengembangan daya-daya jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan pengembangan daya rohani akan membuat kehidupannya berat sebelah dan akan kehilangan keseimbangan. Orang yang demikian kan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup duniawi, apalagi hal itu membawa kepada perbuatan-perbuatan tidak baik dan kejahatan. Ia akan merupakan manusia yang merugikan, bahkan manusia yang membawa kerusakkan bagi masyarakat. Selanjutnya beliau akan kehilangan hidup bahagia di akhirat dan akan menghadapi hidup kesengsaraan di sana. Oleh karena itu sangatlah penting supaya roh yang berada dalam diri manusia mendapat latihan, sebagaimana badan manusia juga mendapat latihan. Sebagaimana badan manusia juga mendapat latihan.
B.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Pengantar Studi Islam dan serta untuk menambah pengetahuan bagi pemakalah mengenai pembahasan Aspek Ibadat, Latihan Spiritual  dan Ajaran Moral

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran Moral
Dalam Islam ibadatlah yang memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia itu. Semua ibadat yang ada dalam islam, salat, puasa, haji, dan zakat, bertujuan membuat roh manusia supaya senantiasa tidak lupa pada Tuhan, bahkan senantiasa dekat pada-Nya. Keadaan senantiasa dekat pada Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci dapat mempertajam kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.
Di antara ibadat islam, salatlah yang membawa manusia terdekat kepada Tuhan. Di dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan Tuhan dan dialog berlaku antara dua pihak yang saling berhadapan. Dalam salat manusia memang berhadapan dengan Tuhan. Dalam salat seseorang melakukan hal-hal berikut: menuju ke-Maha Sucian Tuhan, menyerahkan diri kepada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan syaitan, memohon diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan dijauhi dari kesesatan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, perbuatan-perbuatan jahat dan sebaginya. Pendek kata dalam dialog dengan Tuhan itu seseorang meminta supaya rohnya disucikan. Dioalog ini wajib diadakan lima hari sehari, dan bila seseorang dalam lima kali sehari dengan sadar menyucikan roh, dan ia memang berusaha kearah yang demikian, rohkan akan dapat menjadi bersih dan ia akan dijauhi dari perbuatan-perbuatan tidak baik, apalagi dari perbuatan-perbuatan jahat.
Puasa juga menyucikan roh. Di dalam berpuasa seseorang harus menahan hawa nafsu makan, minum dan nafsu lainnya. Di samping itu ia juga harus menahan rasa amanah, keinginan mengatai orang lain, bertengkar dan perbuatan-perbuatan kurang baik lainnya. Latihan jasmani dan rohani di sini bersatu dalam usaha menyucikan roh manusia. Di bulan puasa dianjurkan pula supaya orang banyak bersalat dan membaca Al-Qur’an, yaitu hal-hal yang membawa manusia dekat kepada Tuhan. Latiahn ini disempurnakan dengan pernyataan rasa kasih kepada anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah bagi mereka.
Ibadah haji juga merupakan penyucian roh. Dalam mengerjakan haji ke Mekkah, orang berkunjung ke baitullah (Rumah Tuhan dalam arti rumah peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Tuahan di dunia ini). Sebagai dalam salat, orang di sini juga merasa dekat sekali dengan tuhan. Bacaan-bacaan yang diucapkan sewaktu mengerjakan haji itu juga merupakan dialog antara manusia dengan Tuhan. Usaha menyucikan roh di sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan rasa bersaudara antara semua manusia, tiada beda antara kayak dan miskin, raja dan rakyat biasa, antara besar dan kecil, semua sederajat.
Zakat, sungguhpun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagaian dari harta untuk menolong fakir-miskin dan sebagainya juga merupakan penyuci roh. Di sini dilatih menjauhi kerusakan pada harta dan menumpuk rasa bersaudara, rasa kasihan dan suka menolong anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan.
Ibadat dalam islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah dalam arti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif. Pengertian serupa ini adalah pengertian yang tidak tepat. Betul ayat 56 dari surah Al-Zariat mengatakan:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaKixJVs6coIN20qOhuuXpj-mkhIkEuli1woES70gUmxHO79rUEj6VM-jG8BfsnEeGQbFueyPH6C4f4TDHr0OcvCQMGuZFmbYT9isvc9kg8C3_16IuhKaR2L1x4-RKiLuy-KdeC8Y4OW78/s320/DZARIAT.jpg    dan ini diartikan bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk beribadat kepada Tuhan yaitu mengerjakan salat, puasa, haji, dan zakat. Soal ibadat memang amat penting artinya dalam ajaran islam, tetapi meskikah kata liya'budun di sana diartikan ibadat, mengabdi atau menyembah? Sebenarnya Tuahan tidak berhajat untuk disembah atau di puja manusia. Tuhan adalah Maha Sempurna dan tak berhajat kepada apapun. Oleh karena itu kata liya'budun di sini lebih tepat kalau diberi arti lain dari pada arti beribadat, mengabdi, memuja, apa lagi menyembah.  Lebih tepat kelihatannya kalau kata itu diberi arti tunduk dan patuh dan kata “ ‘abada“ memang mengandung arti tunduk dan patuh sehingga ayat itu menjadi:
“ tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk tunduk dan patuh kepda-Ku”
Artinya ini lebih sesuai dengan arti yang terkandung dalam kata muslim dan muttaqi, yaitu menyerah, tunduk dan menjaga diri dari hukuman Tuhan di Hari Kiamat dengan mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan. Dengan lain kata, manusia diciptakan Tuhan sebenarnya ialah untuk berbuat baik dan tidak untuk berbuat jahat, sesungguhpun di dunia ada manusia yang memilih kejahatan.
Selanjutnya arti sembah dan sembah yang diberikan kepada “‘abada“ dan “sholaa“ juga membawa pada kepada paham yang tidak falsafah lain dan falsafah islam. Sembahyang mengandung arti menyebah kekuatan ghaib dalam paham masyarakat animisme dan politeisme. Dalam falsafah masyarakat serupa ini kekuatan ghaib yang demikian ditakuti dan mesti disembah dan diberi sesajen agar ia jangan murka dan jangan membawa bencana bagi alam.
Kata sembahyang yang mengandung arti demikian, maka ketika dibawa ke dalam konteks Islam, sebagaimana terjemanahan “‘abada“ dan “sholaa“, menimbulkan perubahan dalam konsep Tuhan yang ada dalam Islam. Dalam Islam Tuhan bukanlah merupakan suatu dzat yang ditakuti tetapi zat yang dikasihi. Ini ternyata dari ucapan: “bismillahirrohmanirrohim“ yang tiap hari berkali-kali dibaca umat Islam. Rahman dan Rahim berarti pengasih lagi Penyayang, jadi bukan perbuatan baik. Selanjutnya ia membawa paham al-salah wal al-aslah, yaitu Tuahan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk maslahat manusia.
Apa yang dimaksud Wasil dengan meniadakan sifat-sifat tuhan (nafy al-sifat) dijelaskan lebih lanjut oleh Abu Al-Huzail. Pemberian sifat kepada tuhan akan membawa pada paham Syirk atau politeisme, karena dengan demikian yang bersifat qodim (tidak bermula) akan banyak. 
Untuk memelikara murninya Tawhid atau Kemahaesaan Tuahan, tidak boleh mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi Tuhan. Sebagai kata Abu Al-Huzail Tuhan berkuasa berkuasa melalui kekuasaan dan kekuasaan itu adalah esensinya “                         
Pemimpin mu’tazillah lain, Al-Nazzam (185-221H), menonjolkan paham keadilan Tuhan dengan mengatakan Tuhan tidak berkuasa untuk berlaku dzalim. Perbuatan dzalim timbul hanya dari yang memiliki cacat, dan Tuhan tidak memiliki cacat. Dari Tuhan timbul perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya Al-Nazzam mengatakan bahwa kalam Allah bahwa sabda Tuhan tidak qodim tetapi diciptakan. Ini membawa paham pada terciptanya Al-Qur’an (Khalq Al-Qur’an) yang kuat dipertahankan oleh kaum Mu’tazilah.
Kaum Mu’tazilah dikenal mempunyai lima ajaran dasar: at-tawhid, al-‘adl; al-wa’d wa al-wa’id, al-munzila bain al-manzilatain dan al-amr bi al-ma’ruf serta al-nahy’an al-munkar.
 Ajaran dasar pertama bertujuan membela kemurnian paham kemahaesaan Tuhan, sehingga mereka mengatakan Tuhan tidak memiliki sifat, dan hanya mempunyai esensi. Tuhan bersifat Maha Adil, dan untuk mempertahankan paham itu, mereka menganut pahan qadariah.jika dikatakan perbuatan manusia telah ditentukan sejak azal, seperti yang terdapat dalam paham jabariah, maka Tuhan akan bersifat tidak adil kalau orang yang berbuat jahat atas ketentuan azali itu, dimasukan tuhan ke neraka. Paham keadilan baru dapat dipertahankan kalau manusia di hukum atas kebebasannya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
Yang dimaksud dengan al-wa’d wa al-wa’id ialah bahwa Tuhan akan melaksanakan janji baik dan ancamannya. Kalau itu tidak dilaksanakan,  Tuhan akan bersifat tidak adil.
Apa yang dimaksud dengan  al-munzila bain al-manzilatain telah diterangkan di atas, dan ini hubungannya juga erat dengan pahan keadilan Tuhan. al-amr bi al-ma’ruf al-nahy’an al-munkar mengandung arti kewajiban menyeluruh berbuat baik dan melarang jahat.
Kaum Mu’tazilah juga sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantanganan keras dari kaum Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk memaksakan paham-paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu.
Pemikiran rasional Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, mambawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasional dan liberal tersebut.
Tantangan pertama datang di Bagdad dari Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M.). Al-Asy’ari pada mulanya adalah pemuka Mu’tazilah, tetapi kemudian mengubah pendapat-pendapat teologinya
Bertakwa artinya menjauhi perbuatan-perbutan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Hadis-hadis Nabi juga mengaitkan puasa dengan berbuatan-perbuatan tidak baik. Salah satu hadisnya mengatakan “ Orang yang tidak meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta tidak ada faedahnya ia menahan diri dari makan dan minum.” Jadi puasa yang tidak menjauhkan manusia dari ucapan dan perbuatan tidak baik tidak ada gunanya. Orang yang demikian tidak perlu menahan diri dari makan dna minum,  karena puasanya tidak berguna.
Hadis lain mengatakan: “ puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa ilah menahan diri dari kata sia-sia dan kata-kata tak sopan; jika kamu dicaci atau tidak dihargai katakanlah “aku berpuasa.” Dengan demikian maka puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari ucapan-ucapan tidak baik lagi kotor.
Mengenai haji, Al-Baqarah:197
“ Haji bulan-bulannya dikenal dan siapa telah memutuskan melakukan haji, maka pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata tak sopan, caci-cacian dan pertengkaran”
Menerangkan bahwa sewaktu mengerjakan haji orang tidak boleh mengeluarkan ucapan-ucapan tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal tidak baik dantidak boleh bertengkar
Tentang Zakat, Al-Taubah: 103
“Ambillah zakat dari harta mereka, dengan demikian engkau akan membersihkan dan mensucikan mereka”
Menjelaskan bahwa zakat diambil dari harta untuk membersihkan dan mensucikan pemiliknya.
Disebut jahat, akal manusia dapat puak mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan dan kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajibannya untuk menjauhi perbuatan jahat. Wahyu dalam keempatnya hal ini datang untuk memperkuat pendapat akal dan untuk memberi perincian tentang apa yang telah diketahuinya itu.
Kaum Asy’ariah, sabaliknya berpendapat bahwa akal tidak begitu besar kekuatannya. Diantara keempat permasalahn di atas dapat sampai kepada adanya Tuhan. Soal kewajiabn manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan, itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.
Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya kepada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah, sebaliknya, pergi terlebih dahulu dari teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahani teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan lain kata kalau kaum Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.

Selain dari itu, paham al-kasb yang dibawa asy-ariah kurnag dekat kepada jabariah atau fatalisme daripada paham qadariah atau kebebasan manusia. Dan karena kuat mempertahankan paham kekuasaan mutlak Tuhan paham hukum alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariah.
Hal-hal inilah yang membuat aliran Asy’ariah lurangsesuai dengan jiwa kaum terpelajar islam yang banyak mendapat pendidikan barat. Dalam suasana serupa inilah orang mulai kembali pada paham-paham rasional yang dibawa kaum Mu’taziah. Teologi tau falsafal hidup Asy’ariah yang memiliki corak tradisional itu kurang sesuai dengan pandangan hidup mereka. Yang dapat mereka lebih terima ialah teologi atau falsafah hidup Mu’tajiah yang lebih banyak menggunakan corak liberal.
Pemikiran-pemikiran Mu’taziah mulai ditimbulkan kembali oleh pemuka-pemuka pembaharu dalam Islam periode abad kesembilan belas Masehi, terutama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Ahmad Khan di India. Di abad duapuluh ini, penonjolan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah diteruskan oleh pengikut-pengikut Muhammad Abduh di Mesir dan pengikut-pengikut Ahmad Khan di India dan Pakistan.
Pandangan orang terhadapt Mu’tazilah telah pula mulai berubah. Kalau sebelumnya kaum Mu’tazilah dianggap kafir dan buku-buku serta ajaran-ajaran mereka terlarang, sekarang telah ada pengarang-pengarang, bahkan ulama yang menyokong atau membela mereka. Diantaranya Ahmad Amin dalam bukku Fajr Al Islam dan Duha Al Islam,  Dr. Ali Sami Al-Nasysyar dalam Nasy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam
Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa sebagai halnya dalam lapangan hukum Islam, dalam teologi Islam terdapat pula beberapa mazhab atau aliran. Aliran-aliran yang ada dan yang mulai timbul kembali ialah Asy’ariah, Maturidiah dan Mu’tazilah. Ketiga aliran ini, sama halnya dengan mazhab-mazhab hukum Islam, tidak keluar dari ajaran-ajaran Islam. Semuanya masih dalam lingkungan Islam dan oleh karena itu tiap orang Islam memiliki kebebasan untuk memilih aliaran teologi atau falsafah hidup yang sesuai dengan jiwanya.
Demikianlah pentingnya budi-pekerti luhur dan tingkah laku sehari-hari dalam Islam, sehingga hal-hal itu disebut Tuhan dalam Al-Qur’an. Dan Nabi Muhammad sendir mengatakan bahwa beliau diutus kedunia untuk menyempurnakan ajaran-ajaran tentang budi-pekerti luhur. Beliau juga menerangkan: Tuhan telah menentukan Islam sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan buti-pekerti baik dan hati pemurah.
Berkata benar dan tidak berdusta adalah norma moral yang penting. Nabi Mengatakan: “kalau bener menimbulakan ketentraman tetapi dusta menimbulkan kecemasan”. Menurut ‘Aisyah, sifat yang dibenci nabi adalah dusta. Seorang mukmin, kata nabi, boleh bersifat penakut dan bathil, tetapi sekali-sekali tidak boleh berdusta. Tiga macam orang, kata nabi, yang tidak akan masuk surga, orang tua yang berzina, Imam yang berdusta, dan kepala yang bersifat angkuh. Mengenai kejujuran nabi mengatakan: “ Tidak terdapat iman dalam diri orang tidak jujur dan tidaklah beragama orang yang tak dapat berpegang janjinya”. Dan seorang pernah bertanya kepada nabi: “ kapan hari ki
amat?” jawab beliau “ kalau kejujuran telah hilang”. Janji harus ditepati walaupun kepada musuh. Nabi pernah mengatakan kata-kata berikut” jika seorang berjanji tidak akan membunuh seorang lain, tetapi kemudian orang itu ia bunuh, maka aku suci dalam perbuatannya, sungguhpun yang ia bunuh itu adalah orang kafir”. Orang pernah bertanya kepda nabi tentang semulia-muali manusia. Nabi menerangkan “ orang yang hatinya bersih lagi suci dan lidahnya benar”. Juga nabi mengatakan bahwa orang yang suka mencaci dan hatinya berisi rasa dengki akan masuk neraka. Selanjutnya orang yang kuat kata nabi, bukanlah orang yang tak dapat dikalahkan kekuatan fisiknya, tetapi yang kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya. Hadis lain lagi menerangkan bahwa orang yang dapat menahan amarahnyadihari kiamat dapat memilih bidadari yang disukainya. Lebih lanjut lagi Nabi mengatakan bahwa derajat yang tertinggi diberi Tuhan kepada orang yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang tidak menghargainya, mamaafkan orang yang tak mau memberi apa-apa kepadanya dan tetap bersahabat dengan orang yang memutus tali persaudaraan dengan dia. Hadis juga mengatakan orang yang paling tidak disenangi Tuhan ialah orang yang berdemdam kusumat.
Demikian hadis-hadis Nabi banyak menyebutkan norma-norma akhlak mulia dan Nabi sendiri dikenal dengan orang yang budi pekertinya luhur. Islam sebagai halnya agama-agama lain, amat mementingkan pendidikan spiritual dan moral. Disinilah sebenarnya terletak inti sari suatu agama. Intisari ajaran-ajaran Islam, memang berkisar tentang baik dan buruk, yaitu perbuatan mana yang bersifat baik dan membawa kepada kebahagiaan, dan perbuatan buruk taua jahat akan membawa pada kemudhorotan tau kesengsaraan. Untuk kebahagiaan manusia berbuatan baik dikerjakan dan perbuatan jahat dijauhi.
Dalam Islam masalah baik dan buruk ini mengambil tempat yang paling penting sekali. Bagi para teolog Islam soal itu memang merupakan salah satu masalah yang banyak dan hangat mereka perbincangkan. Pokok masalah bagi aliran-aliran teologi yang terdapat dalam Islam ialah: Dapatkah manusia melalui akalnya mengetahui perbuatan mana yang buruk? Ataukah untuk mengetahui itu, manusia perlu pada wahyu?
Golangan Asy’ariah mengatakan bahwa soal baik dan buruk tak dapat diketahui oleh akal. Sekiranya wahyu tidak diturunkan tuhan, manusia tidak akan dapat memperbedakan perbuatan buruk dari perbuatan baik. Wahyulah yang menentukan buruk-baiknya sesuatu perbuatan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal manusia cukup kuat untuk mengetahui buruk-baiknya sesuai perbuatan. Tanpa wahyu manusia dapat mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan buruk dan menolong sesama manusia adalah perbuatan baik. Untuk itu tak perlu wahyu. Wahyu datang hanya untuk memperkuat pendapat akal manusia dan untuk membuat nilai-nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolut dan universal, agar dengan demikian mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh umat.
Selanjutnya, kata Mu’tazilah, setelah akal mengetahui yang baik dan apa yang buruk, akal memerintah supay perbuatan baik itu dikerjakan dan perbuatan buruk itu dijauhi. Jadi sebelum wahyu diturunkan Tuahan, manusiia dalam paham Mu’tazilah, telah berkewajiban berbuat baik dan berkewajiban menjauhi perbuatan jahat. Wahyu datang untuk memperkuat perintah akal itu dan untuk membuat kewajiban-kewajiabn akli tersebut menjadi kewajiban syar’i yang bersifat absolut.
Bagi golongan Asy’ariah, karena akal tidak mampu mengetahui soal baik dan soal buruk, manusia tidak mempunyai kewajiban akli apa-apa sebelum turunnya wahyu.
Sekianlah sekedar masalah baik dan buruk dalam teologi Islam. Di samping teologi, fikih atau hukum islam sebenarnya juga memusatkan pembahsan pada soal baik dan buruk itu. Pengertian wajib, haram, sunnah dan makruh hubungannya erat sekali dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik ada diantaranya yang wajib dikerjakan dan ada pula diantarannya yang sunnah dikerjakan. Perbuatan buruk atau jahat ada yang haram dikerjakan dan ada yang makruh dikerjakan. Perbuatan-perbuatan  tidak baik yang haram atau makruh dikerjakan, membawa kepada kemudaratan dan kesengsaraan, sedangkan perbuatan-perbuatan baik yang wajib atau sunnah, kalau dikerjakan, membawa kepada kebaikkan dan kebahagiaan.
Ancaman yang berupa neraka dan janji yang berupa surga di akhirat, juga erat hubungannya dengan soal baik dan buruk ini. Orang yang berbuat baik di duniaini akan masuk surga di akhirat, dan orang yang berbuat baik bukan hanya yang merupakan ibadat, tetapi juga perbuatan baik duniawi yang setiap hari dilakukan manusia dan hubungannya dengan manusia, bahkan juga dengan makhluk lain, terutama binatang-binatang. Demikian pula yang dimaksud dengan perbuatan buruk dan jahat adalah perbuatan buruk, dan jahat yang dilakukan manusia, terhadap sesama manusia dan juga terhadap makhluk lain di dunia.

 BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Jelas bahwa dalam Islam, soal baik dan buruk, di samping soal ketuhanan menjadi dasar agama yang penting. Ini demikian, karena yang ingin dibina Islam ialah manusia baik yang menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau jahat di dunia ini. Manusia serupa inilah sebenarnya yang dimaksud dengan mukmin, muslim dan muttaqi (orang yang bertakwa). Mukmin ialah orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber nilai-nilai yang bersifat absolut, muslim orang yang menyerahkan diri dan tunduk kepada Tuhan, Muttaqi atau orang yang bertakwa adalah orang yang memelihara diri dari hukuman Tuhan di akhirat, yaitu orang yang patuh pada Tuhan, dalam arti patuh menjalankan perintah-perintah-Nya dan patuh menjauhi larangan-Nya. Perintah Tuhan hubungannya ialah dengan perbuatan –perbuatan baik sedangkan larangan Tuhan hubungannya ialah dengan perbuatan-perbuatan buruk dan jahat. Dengan tegasnya yang menerjakan kebaikkan-kebaikkan dan menjauhi kejahatan-kejahatan.
Kata muttaqin dalam Al-Quran memang dihubungkan dengan nilai-nilai seperti suka menolong, sungguh pun si penolong sendiri berada dalam kekurangan, dapat menahan amarah, suka memberi maaf kepada orang lain, menepati janji, sabar, tidak tinggi hati, suka kepda kebaikan dan benci pada kejahatan, berbuatan baik kepada orang lain jujur, suka pada kebenaran dan sebagainya. Kata muttaqin dalam Al-quran selanjutnta dikontraskan dengan orang yang berbuat onar dan kacau dalam masyarakat, orang yangberbuat buruk, orang yang berdusta, orang yang bersikap zalim, penjahat, amoral dan sebagainya.
Dengan demikian, yang dimaksdu dengan mukmin, muslim dan muttaqin sebenernya adalah orang yang bermoral tinggi dan berbudi pekerti luhur. Tidak mengherankan kalau soal akhlak dan budi pekerti luhur memang merupakan ajaran yang penting sekali dalam Islam. Dan soal itu semikan pentingnya sehingga, bukan hanya ibadat salat, puasa, zakat serta haji saja, tetapi juga hukum fikih dan konsep-konsep iman, Islam, surga, serta neraka, kesemuanya sebagai dilihat di atas, erat hubungannya dnegan perbuatan baik dan bperbuatan buruk manusia. Tujuan dasar dari semua ajaran-ajaran Islam memanglah untuk mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan selanjutnya untuk mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan baik. Dari manusia-manusia baik dan berbudi pekerti luhurlah masyarakat baik dapat diwujudkan.


 DAFTAR PUSTAKA                    

Nasution, Harun. 2010. Islam ditinjau dari berbagai aspek. Jakarta: UI-Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar